Pembaharuan Pemikiran Pendidikan (2)
Ketiga, zaman modern, sekitar 200 tahun terakhir ini, sampai dengan sekarang. Sikap umat Islam terhadap ilmu-ilmu sekitar 200 tahun terakhir ini adalah alfikrulislamiy, yaitu terjadi penghubungan antara rumpun ilmu-ilmu agama dengan rumpun ilmu-ilmu agama; dan juga penghubungan antara rumpun ilmu-ilmu agama dengan rumpun ilmu-ilmu alam, sosial dan humaniora. Fenomena alfikrulislamiy ini ditandai dengan adanya ulama yang membolehkan, bahkan menganjurkan, agar umat Islam mempelajari ilmu-ilmu modern dan teknologi dari Barat.
Nampaknya, mereka mengatakan demikian, karena umat Islam harus mengakui bahwa di Barat saat ini terdapat keunggulan dalam pengembangan rumpun-rumpun ilmu, yang tradisinya berasal dari tradisi Islam. Saat ini, kata mereka, Barat memiliki tradisi riset ilmiah yang kuat, yang di masa lampau merupakan tradisi riset umat Islam. Selain itu, saat ini, Barat juga memiliki kemampuan metodologi ilmiah yang kuat dan etos ilmiah yang tinggi, serta analisa yang tajam dalam membedah rumpun-rumpun ilmu.
Keempat, zaman postmodern. Yang dimaksud dengan zaman postmodern adalah zaman setelah modern. Di zaman ini sikap umat Islam terhadap ilmu adalah studi Islam, yaitu terjadinya kerja sama, bukan hanya hubungan seperti di zaman modern, antara rumpun ilm-ilmu agama dengan rumpun ilmu-ilmu alam, sosial dan humaniora. Di zaman postmodern ini, masing-masing ilmu atau ilmuwan menyadari kelemahan mereka dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan.
Ilmuan agama mulai menyadari bahwa dengan mengabaikan metodologi yang digunakan dalam berbagai disiplin ilmu modern, akan menyebabkan pemahaman mereka terhadap ilmu-ilmu agama kehilangan relevansi. Hal ini akan menyebabkan ilmu-ilmu agama yang diproduk oleh ulama akan ketinggalan dan ditinggalkan.
Demikian juga ilmuan alam, sosial dan humaniora, sudah menyadari bahwa ilmu yang mereka produk akan membawa bencana bagi kemanusiaan, kalau ilmu-ilmu mereka tidak dihiasi dengan nilai-niali spiritual yang bersumber dari ilmu-ilmu agama. Dengan demikian, semua ilmu-ilmu mereka harus saling bertegur sapa, berinteraksi, bekerja sama, menyumbang satu sama lain untuk merebut hati peminat ilmu.
Yang aneh adalah, sampai saat ini, kebanyakan umat Islam masih mewarisi pola pikir abad pertengahan yang identik dengan zaman kemunduran itu. Masih banyak lembaga pendidikan kita yang masih mempertahankan pola pikir kitab-kitab yang diproduk di abad kemunduran itu. Masih banyak guru-guru kita yang mengatakan bahwa ilmu-ilmu “umum” tidak penting. Sadarkah kita bahwa masalah umat Islam tidak akan bisa diselesaikan dengan hanya mengandalkan ilmu-ilmu agama/doa?.
Kalau pendidik kita saja, yang merupakan pelopor perubahan, masih mewarisi mental zaman pertengahan yang identik dengan abad kemunduran itu, wajar saja kalau anak-anak umat Islam akan menjadi pemikir dan generasi yang terlambat lahir. Inilah agaknya salah satu penyebab mengapa kebanyakan negara-negara Islam masih menjadi negara-negara yang terbelakang jika dibandingkan dengan Negara-negara Barat dan Eropa.
Sekali lagi, pola pikir kita terjebak di zaman kemunduran itu, sehingga cara berpikir kita pun ortodok dan susah menerima pembaharuan. Padahal, yang seharusnya kita warisi adalah pola pikir di zaman klasik, yaitu pola pikir yang bersifat integarated. Bukankah pola pikir integarated itu bertahan sekitar 600 tahun dalam sejarah peradaban Islam? Bukankah pola pikir dikotomis itu hanya berlangsung sekitar 400 tahun? Mengapa jalan pikiran kita terjebak di zaman kemunduran yang lebih singkat itu?
Poinnya adalah, mari kita kembali ke zaman pola pikir integrated, alfikrulislamiy dan studi islam, yakni menganggap sejajar semua rumpun-rumpun ilmu.
Oleh: Dr. Charles Rangkuti, S.Pd.I, M.Pd.I