Kam 16 Syawal 1445AH 25-4-2024AD
Artikel

Pembaharuan Pemikiran Pendidikan (1)

Kalau kita mau melihat mental kita yang sekarang terhadap ilmu, agaknya akan lebih arif dan bijaksana kalau kita melihat juga mental umat Islam terhadap ilmu di masa lalu. Menurut para ahli, paling tidak sejak kemunculan Islam di muka bumi ini, sejarah umat Islam dapat dibagi kepada empat zaman:

1. Zaman Klasik, yaitu dari abad ke-7 M s.d abad ke-13 M.
2. Zaman Pertengahan, yaitu dari abad ke-14 M s.d abad ke-18 M.
3. Zaman Modern, yaitu dari abad ke-19 M s.d sekarang.

4. Zaman Postmodern, yaitu hari-hari yang sedang dilalui Umat Islam saat ini.

Ternyata, setiap penggal sejarah di abad-abad itu, memberikan pengaruh yang sangat luar biasa kepada mental umat Islam terhadap ilmu. Kalau boleh kita simpulkan, kita telah mengalami kecelakaan mewarisi dalam menyikapi ilmu. Anehnya, kita masih terus mempertahankan mental kecelakaan mewarisi itu sampai detik ini.

Sekarang, mari kita lihat penggal-penggal sejarah itu.

Pertama, zaman klasik, selama hampir 600 tahun, sikap umat Islam terhadap ilmu adalah “integrated”, yaitu menganggap sejajar semua ilmu. Pola pendekatan ilmu yang seperti ini yang melahirkan pemikir yang ensiklopedik. Di zaman ini kita temukan nama besar Ibnu Sina, selain ahli dalam Tafsir dan Tasawuf, dia juga ahli dalam Fisika dan Kedokteran.  Demikian juga dengan Ibnu Rusyd, selain ahli dalam Filsafaf, dia juga ahli dalam Fikih. Mereka inilah yang disebut dengan ulama yang intelek dan intelek yang ulama.

Kedua, zaman pertengahan, selama hampir 400 tahun. Sikap umat Islam terhadap ilmu adalah “dikotomis”, yaitu mengutamakan ilmu-ilmu agama dan menomorduakan ilmu-ilmu non-agama (umum). Dan yang paling menyedihkan lagi, sesama ilmu agama sendiri pun saling mereka pertentangkan. Ilmu Fiqih misalanya, sering mereka seberangkan dengan Ilmu Tasawuf, padahal keduanya adalah sama-sama rumpun Ilmu Agama. Kalau sesama rumpun Ilmu Agama saja “dipertentangkan” seperti itu, sudah dapat kita bayangkan bagaimana mental umat Islam terhadap ilmu yang bukan dari rumpun Ilmu Agama.

Fakta yang lebih miris, ternyata mental mempertentangkan ilmu ini tidak hanya terjadi dalam wilayah normatif, tetapi juga dalam wilayah historis, di sinilah kita menemukan adanya ulama Tasawuf yang dihukum mati oleh penguasa, karena “hasutan” dan “provokasi” dari mereka yang mengaku sebagai ulama Fikih, untuk menyebut satu contoh, tentunya nama al-Hallaj sangat sulit untuk kita lupakan. Dia adalah ilmuwan dalam bidang Tasawuf-Falsafi yang menjadi korban dalam penggal sejarah yang berdarah itu.

Demikian juga yang terjadi dalam tataran teologi, umat Islam yang awam sangat dilelahkan dengan pertentangan argumentasi yang terjadi antara aliran-aliran pemikiran semacam Muktazilah, Jabariyyah dan Asy’ariyyah. Kadang yang lebih mengherankan lagi, semua golongan yang saling bertentangan itu mengklaim bahwa buku-buku yang mereka susun adalah “Aqidah Islamiyyah”, seolah-olah siapa yang tidak membaca dan mempercayai buku-buku susunan mereka, mereka dianggap sebagai kafir. Padahal kalau ditelusuri lebih jauh, apa yang mereka susun dalam buku-buku mereka, hanya respons mereka terhadap lawan-lawan intelektual, atau bahkan lawan politik, mereka.

Pertentangan dalam bidang teologi ini juga yang menyebabkan al-Ma’mun membuat penyiksaan terhadap ulama yang menganut paham Asy’ariyyah. Sebaliknya, pada zaman khalifah al-Mutawakkil terjadi pengejaran terhadap ulama yang menganut paham Muktazilah. Tidak hanya sampai di situ, khalifah ini juga membakar buku-buku Muktazilah dan mencap mereka sebagai orang-orang yang tergelincir.

Pada zaman pertengahan ini, kita tidak lagi menemukan ilmuwan yang ensiklopedik seperti ilmuwan di zaman klasik. Di zaman inilah cikal bakal terjadinya ketertinggalan umat Islam dalam bidang Ilmu Alam, Sosial dan Humaniora. Banyak sebab mengapa umat Islam bermental seperti ini (dikotomis) terhadap ilmu, mulai dari serangan yang bertubi-tubi dari luar dan dalam Islam, dis-integarsi kekuasaan, perang salib dan situasi politik yang tidak stabil.

Dapat disimpulkan, pola gerakan ilmu yang terjadi di zaman pertengahan adalah pola kemunduran-stagnansi. Selain tidak menghasilkan ulama yang intelek atau intelek yang ulama, justru menghasilkan malapetaka dan permusuhan yang berkepanjangan. Dikatakan berkepanjangan, karena sampai detik ini, masih ada umat Islam yang mempertentangkan antara satu ilmu dengan ilmu yang lain. [Bersambung]

Oleh: Dr. Charles Rangkuti, M.Pd.I

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *