Jum 17 Syawal 1445AH 26-4-2024AD
Artikel

Memerdekakan Pikiran

Ada kebiasaan kita yang masih terus kita rawat sampai sekarang, yaitu sering menganggap benar sesuatu apabila sesuatu itu telah populer. Padahal, sesuatu yang populer belum tentu benar, dan sesuatu yang tidak populer belum tentu juga tidak benar. Antara popularitas dan kebenaran adalah dua variabel yang bebeda, atau bahkan bertentangan antara satu dengan yang lainnya.

Cara berpikir seperti itu bukan hanya terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari, tetapi terjadi juga di dalam menyikapi dunia pendidikan kita. Ambillah sebagai contoh tentang psikologi mendidik. Beberapa tahun ini beredar ilmu psikologi yang menyatakan bahwa dalam mendidik kita dilarang menggunakan kata, “jangan”. Sebagai orang yang mempercayai wahyu (Alquran), kita sangat pantas mengkritik atau bahkan mencurigai konsep tersebut, dengan alasan karena Alquran sangat sering menggunakan kata, “jangan”.

Di tengah maraknya trend hijrah di kalangan anak-anak muda kita, sudah sepantasnya juga kita hijrah pemikiran dalam melihat masalah ini, yaitu hijrah dari pemikiran orang lain ke pemikiran Alquran. Sebagian pakar pendidikan Islam berpendapat bahwa pintu terbesar yang paling mudah dimasuki oleh “orang lain” untuk memasukkan ajaran mereka ke dalam agama kita adalah melalui pintu dunia pendidikan. Dengan dana yang besar dan etos ilmiah yang tinggi, mereka dengan mudah menyebarkan pikiran mereka melalui media online, buku-buku, pendidikan, seminar dan lain-lain.

Kembali ke persoalan larangan menggunakan kata “jangan” yang disebarkan oleh orang lain itu. Kata mereka, “gunakanlah kata-kata preventif dalam melarang sesuatu! seperti kata ‘hati-hati’, ‘berhenti’, ‘diam di tempat’, atau ‘stop’. Kita sebaiknya tidak menggunakan kata ‘jangan’ karena alam bawah sadar manusia tidak merespons dengan cepat kata ‘jangan'”.

Hampir senada dengan itu, psikolog lain mengatakan, “Tidak perlu bingung dalam melarang anak untuk melakukan sesuatu!, melarang anak tidak harus dengan menggunakan kata ‘jangan’ atau kata ‘tidak'”. Kata mereka juga, “kata “jangan” akan memberikan nuansa negatif bagi pikiran manusia, oleh sebab itu cobalah untuk mengganti kata “jangan” dengan kata yang positif. Dengan mengganti kata ‘jangan’ dengan kata-kata yang positif, maka otak manusia akan terbiasa dengan yang positif”.

Pertanyannya, apakah semua pernyataan ini benar dan dapat dipertanggungjawabkan?

Sekarang, mari kita lihat kitab suci kita, karena hanya kitab suci ini landasan argumentasi yang paling kokoh. Kalau kita agak teliti dalam memahami Alquran, kita akan menemukan data bahwa larangan menggunakan kata “jangan” hanyalah pendapat yang dilandaskan kepada pikiran manusia. Kalau pembahasan ini kita perdalam ke dalam dunia filsafat, maka kita akan tahu bahwa apa yang mereka sampaikan hanya berhenti pada rasionalisme, sedangkan agama kita masih memperkenalkan epistemologi lain yang kita sebut dengan hati atau intuisi, yang puncaknya adalah wahyu (Alquran).

Kalau kita percaya bahwa Alquran sebagai landasan argumentasi, kita akan menemukan data, Alquran menggunakan kosa kata “jangan” lebih dari 500 kali. Apakah Tuhan salah memilih diksi itu di dalam kitab-Nya? Kalau seperti itu banyaknya kosa kata Alquran yang menggunakan kata “jangan”, lantas mau kita letakkan di mana semua diksi-diksi itu? Kita yang tekun membaca surah Luqman, akan tahu bahwa ketika Luqmanul Hakim mendidik anaknya, dia tidak “mengganti” kata-kata “jangan” dengan kata-kata yang lebih “halus”, seperti kata, “sebaiknya”, “bagaimana jika”, “seharusnya”, tetapi dengan tegas Luqmanul Hakim mengatakan, “Jangan syirik!”, “jangan berjalan dengan sombong!” Di tempat lain, Tuhan juga berfiman, “Jangan berzina!”, “jangan berkata tentang apa yang tidak kamu ketahui!”, “jangan makan haram!”, jangan makan riba!”, jangan sembah setan!.

kelihatannya, rahasia di balik mengapa Alquran tetap menggunakan kata “jangan” dan tidak menggantinya dengan, yang menurut mereka, kata-kata yang positif, karena dengan mengganti kata “jangan” dengan kata-kata yang lebih lembut, akan menjadikan pikiran manusia lemah (lembek). Perlu kita ketahui bahwa pikiran yang lemah (lembek) akan menganggap bahwa agama ini hanya agama yang mengurus akhlak dan bukan agama yang juga mengurus hukum (seperti hukum potong tangan dan cambuk sampai mati).

Atau kalau dalam bahasa yang lebih keren, agama ini hanya dianggap sebagai pengawal moral dan bukan juga sebagai pengontrol sosial. Padahal, sejak dini Alquran sudah mengatakan bahwa umat yang terbaik itu adalah umat yang “ber-amar ma’ruf dan ber-nahi munkar”, bukan umat yang “cengeng” yang hanya bisa menyelamatkan diri sendiri. Artinya, umat yang diinginkan Alquran bukan umat yang berprinsip, “kejahatan atau kebaikan yang mereka lakukan adalah pilihan hidup mereka, yang penting saya tidak memilih pilihan hidup mereka”

Agaknya tidak keliru juga kalau kita katakan bahwa manusia yang dididik tanpa menggunakan kata “jangan” akan menjadi manusia yang tidak punya “keterikatan” hukum. Artinya, mereka hanya sibuk memperbaiki diri sendiri dan tidak peduli dengan kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia yang lain. Ini adalah prinsip Barat yang mengatasnamakan HAM, sedangkan kita mempunyai konsep, “amar ma’ruf dan nahi munkar” yang dalam penegakannya membutuhkan ketegasan atau kalau dianggap sangat perlu dengan “kekerasan” (lihat konsep gazwah dan sariyyah dalam sejarah Islam!)”.

Sebagaimana yang telah kita sebutkan bahwa Islam hadir bukan hanya sebagai pengawal moral, tetapi juga sebagai pengontrol sosial. Pesan paling penting yang perlu kita sampaikan adalah, “jangan sekali-sekali mengganti diksi-diksi Alquran (Tuhan), kalau Alquran menggunakan kata kafir, maka gunakanlah kata kafir, yang penting sesuai dengan tempat dan kondisinya. Apabila Alquran menggunakan kata anjing dan babi, maka gunakanlah kata anjing dan babi. Apabila Alquran menggunakan kata ‘jangan’, maka gunakanlah kata ‘jangan”! Jangan ganti kata “jangan” dengan kata “sebaiknya”, “lebih baik”, “mohon jauhi!” dan kata-kata “positif” lainnya!” Sebab, kalau kita berani mengganti kata-kata yang telah dipilih Tuhan di dalam kitab suci-Nya, bisa jadi kita tidak merdeka dari pikiran manusia, tapi hendak merdeka dari “pikiran” Tuhan.

Oleh: Dr. Charles Rangkuti, M.Pd.I

One thought on “Memerdekakan Pikiran

  • Aini

    Sedih tak bisa tiap saat lagi belajar dgn guru guru saya secara langsung sbb jenjang pendidikan sdh selesai, tp melalui tulisan beliau saya kembali merasa sedang belajar didepan nya, barakallahulak ust kami

    Balas

Tinggalkan Balasan ke Aini Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *