Jum 19 Ramadhan 1445AH 29-3-2024AD
Artikel

Alquran dan Filsafat

Kalau kita agak tekun menelusuri ayat-ayat Alquran, maka kita akan menemukan sekian banyak informasi Alquran yang kita duga mengandung informasi yang kontradiktif antara satu dengan yang lain. Sudah barang tentu kita percaya bahwa tidak ada informasi yang kontradiktif di dalam Alquran. 

Sudah sekian banyak tulisan pakar-pakar Islam yang menjelaskan ketiadaan kontradiksi tersebut, katakanlah misalnya ilmu Usul Fikih yang sangat luas membahas masalah ini. Nampaknya, sampai hari ini, masih ilmu Usul Fikih inil ilmu yang paling canggih dalam memberikan panduan untuk mengolah dan mengelola teks-teks keagamaan. Sekian banyak istilah-istilah yang diperkenalkan pakar-pakar Usul Fikih untuk menghapus dugaan adanya kontradiksi tersebut. Mereka memperkernalkan istilah-istilah seperti nasakh, jam‘u, ta‘arud, tarjih dan istilah-istilah lain yang banyak mereka bentangkan dalam buku-buku mereka.

Namun, sekalipun istilah-istilah yang mereka perkenalkan itu sangat “keren-keren,” tidak bisa juga dipungkiri bahwa di sana sini terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai substansi dari istilah-istilah itu. Sekali lagi, sekalipun demikian sengit perdebatan mereka, nampaknya, ilmu Usul Fikih —yang sebagian materinya saling mengadopsi dan mengadaptasi dari dan ke Ilmu-ilmu Alquran dan Ilmu-ilmu Hadis—sudah cukup memadai untuk kita jadikan sebagai pagar-pagar metodologis untuk mengolah dan mengelola teks-teks keagmaan. Atau dalam istilah kerennya, bisa kita sebut sebagai “tool” untuk mengembangkan metode bayani, atau epistemologi bayani atau nalar bayani,

Sebagian dari informasi wahyu yang kita duga saling kontradiktif itu adalah tentang adanya informasi bahwa “kebiasaan Tuhan yang berlaku di alam raya” atau yang biasa disebut dengan hukum-hukum alam atau sunnatullah. Pakar-pakar mengatakan bahwa sekalipun Tuhan mengatakan bahwa “Tidak akan ada perubahan dalam kebiasaan-Nya”, “Tuhan tidak akan ingkar janji” dan “Tidak akan ada penyimpangan dalam kebiasaan-Nya,” tetapi di sisi lain Dia juga mengatakan bahwa Tuhan “Bisa menghapus apa yang dikehendaki-nya menetapkan apa yang dikehendaki-Nya,” “Dia akan mengubah nasib suatu kaum kalau mereka menguba cara mereka mencari karunia Tuhan.”

Informasi-informasi yang seolah-olah kontradiktif akan semakin kentara kalau petik wahyu-wahyu yang mengatakan  adanya sekian peristiwa yang menyimpang dari hukum-hukum alam/kebiasaan-kebiasaan Tuhan yang  “biasa berlaku di alam raya.” Katakanlah, misalnya informasi wahyu tentang manusia yang dimatikan selama seratus tahun kemudian dihidupkan kembali dan ditampilkan dihadapannya secara “streaming” himarnya  yang mati bersamanya hidup kembali; manusia yang tidak terbakar di atas bara api yang menyala-nyala; manusia yang “lahir” tanpa ibu dan manusia yang terbang mengarungi alam semesta tanpa menggunakan alat pelindung diri.

Informasi-informasi yang seperti ini sudah barang tentu “lari” dari hukum-hukum alam yang dikatakan oleh Tuhan sebagai  “kebiasaan-kebiasaan-Nya yang tidak berubah dan tidak menyimpang.” Lantas bagaimana kita memahami semua informasi yang “kontradiktif” dan fenomena yang terjadi di luar hukum-hukum tersebut? Apakah serta-merta kita menolak semua informasi wahyu tersebut karena tidak sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi atau tidak sesuai dengan akal?

Melihat informasi-informasi wahyu yang demikianlah makanya para Filsuf Muslim memperkenalkan, selain istilah-istilah yang  telah diperkenalkan oleh para pakar Usul Fikih yang telah kita sebutkan sebelumnya, istilah-istilah seperti rasional, irrasional, suprarasional, logis, tidak logis, logis-rasional dan istilah-istilah lainnya.

Ditulis oleh: Dr. Charles Rangkuti, M.Pd.I., Tenaga Pendidik Ma’had Tahfizhil Qur’an Yayasan Islamic Centre Sumatera Utara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *